Beranda | Artikel
Hukum Cincin Tunangan Menurut Islam - Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily #NasehatUlama
Selasa, 14 September 2021

Hukum Cincin Tunangan Menurut Islam – Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily #NasehatUlama

Hal yang berhubungan dengan lamaran adalah apa yang dinamakan dengan cincin tunangan. Cincin tunangan. Cincin tunangan adalah sebuah cincin yang dipakai di jari kedua pada tangan kanan, jari sebelah jari kelingking. Cincin yang dipakai di jari kedua pada tangan kanan, sebelah jari kelingking; yakni jari manis. Kemudian cincin itu dipindah ketika akad nikah ke jari yang sama yang ada di tangan kiri. Ini disebut dengan cincin tunangan lalu disebut dengan cincin pernikahan.

Cincin tunangan dipakai di tangan kanan Kemudian saat akad nikah cincin itu dipindah ke tangan kiri. Dan cincin ini jika terbuat dari emas maka itu haram dipakai kaum pria secara mutlak. Jika terbuat dari emas; baik itu emas kuning atau emas putih maka itu haram dipakai kaum pria secara mutlak. Karena emas haram dipakai oleh kaum pria. Namun jika cincin itu terbuat dari perak bagi kaum pria atau jika terbuat dari emas atau perak bagi kaum wanita, maka bagaimana hukum memakainya? Apakah boleh memakai cincin tunangan dan cincin pernikahan di jari tangan? Jawabannya bahwa hukum perkara ini telah mendapat keringanan dari beberapa pemberi fatwa dengan mengatakan bahwa itu boleh karena itu termasuk perkara yang telah berlaku di kalangan kaum muslimin sehingga telah menjadi adat bagi mereka.

Sebagian pemberi fatwa berkata, itu boleh. Memakai cincin tunangan dan cincin pernikahan boleh. Apa alasan pembolehannya? Mereka mengatakan, “Karena itu termasuk perkara yang telah berlaku di kalangan kaum muslimin sehingga telah menjadi adat kebiasaan bagi kaum muslimin.” Dan syaikh kami Ibnu Utsaimin mengatakan -rahimahullah-, “Aku berpendapat bahwa memakai cincin (tunangan) paling tidak hukumnya adalah makruh.” “Aku berpendapat bahwa memakai cincin (tunangan) -yakni bagi pria jika itu terbuat dari perak dan bagi wanita jika itu terbuat dari emas atau perak- paling tidak hukumnya adalah makruh.” Dan perkara ini diharamkan oleh sebagian ulama dan ini pendapat yang lebih kuat -wallahu a’lam- perkara ini haram.

Karena perkara ini Bisa jadi merupakan adat kaum Nasrani yang mengandung kepercayaan di dalamnya. Dan adat orang-orang musyrik yang mengandung kepercayaan di dalamnya tidak menjadi perkara yang dibolehkan jika tersebar di kalangan kaum muslimin. Adat orang-orang musyrik, Adat orang-orang non-muslim jika berkaitan dengan kepercayaan mereka maka tidak menjadi perkara yang dibolehkan jika tersebar di kalangan kaum muslimin. Dan adat ini adalah adat orang-orang Nasrani dan berkaitan dengan kepercayaan mereka. Dan ini karena mereka berkata ketika memakai cincin tunangan ini, -Kita berlindung kepada Allah dari yang dikatakan orang-orang zalim- (Orang Nasrani berkata): “Dengan nama Bapa, dan anak, dan Roh Kudus.” Lalu mereka baru memakai cincin itu di jari keempat (jari manis). Dan mereka meyakini bahwa cincin itu dapat menjaga pernikahan mereka dan ia menjadi tanda kelanggengan pernikahan.

Oleh sebab itu, ketika cincin ini dipindah dari jari tangan kanan ke jari tangan kiri mereka berusaha untuk tidak melepaskannya, namun mereka memindahkannya tanpa melepasnya dari jari yakni dengan meletakkan dua (jari) tangan seperti ini (menyatukan kedua ujung jari manis) kemudian cincin itu dipindah dari jari tangan kanan ke jari tangan kiri tanpa terlepas. Kemudian mereka meletakkan alat untuk menguatkan cincin itu di jari yang disebut dengan pengganjal, alat yang mengganjal cincin agar tidak terjatuh karena mereka meyakini bahwa cincin itu melambangkan kelanggengan pernikahan dan juga dapat menjadi sebab kelanggengan pernikahan.

Jadi ini adalah adat kaum Nasrani yang terbangun di atas keyakinan mereka. Dan aku telah menyebutkan apa yang telah ditetapkan oleh para ulama bahwa adat orang-orang non-muslim jika terbangun di atas kepercayaan mereka maka penyebarannya di kalangan kaum muslimin tidak menjadikannya perkara yang diperbolehkan. Dan bisa jadi perkara ini adalah adat orang-orang Yunani kuno, adat yang lama sekali.

Ada yang berpendapat ini adat Yunani kuno, pendapat lain mengatakan adat para Fir’aun. Dan mereka meyakini bahwa memakai cincin dapat menjadi sebab rasa cinta dan kasih sayang karena mereka percaya bahwa syaraf hati melewati jari manis karena syaraf hati melewati jari manis di tangan kiri dan kanan. Sehingga jika cincin itu diletakkan di jari manis maka ia akan menahan syaraf itu dan dapat menjadi sebab rasa cinta dan kasih sayang
antara sepasang suami istri tersebut.
Dan memakai cincin dengan keyakinan seperti ini adalah bentuk syirik kecil karena mereka menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab. Dan menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab adalah syirik kecil.
Sedangkan jika meyakini bahwa cincin inilah yang menghadirkan rasa cinta antara sepasang tunangan atau suami istri, maka ini adalah syirik besar. -wal ‘iyadzu billah-

Jadi bagaimana pun, ini adalah adat orang-orang non-muslim yang terbangun di atas kepercayaan mereka, baik itu kita katakan bahwa yang pertama melakukannya adalah kaum Nasrani atau yang pertama melakukannya adalah para Fir’aun (para raja Mesir kuno) atau yang pertama melakukannya adalah kaum Yunani Kuno. Dan adat kebiasaan ini tidak menjadi perkara yang diperbolehkan karena kaum muslimin melakukannya namun tetap pada asal hukumnya, yaitu haram. Dan juga harus diperhatikan dalam masalah ini  bahwa tunangan pria yang memakaikan cincin di tangan tunangan wanita yang masih haram baginya maka ini mengandung perkara-perkara lain yang diharamkan juga.

Tunangan pria memegang tangan tunangan wanita padahal ia masih bukan mahram baginya -sebagaimana yang telah kita jelaskan-. Tidak boleh baginya memegang tangan tunangan wanita dan perkara-perkara lainnya yang diharamkan. Inilah yang menurutku benar dalam masalah ini dan aku telah memaparkan masalah ini bagi kalian berdasarkan tinjauan keilmuannya.

=====================

أَيْضًا مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالْخِطْبَةِ

مَا يُسَمَّى

بِدِبْلَةِ الْخُطُوْبَةِ

دِبْلَةُ الْخُطُوْبَةِ

وَدِبْلَةُ الْخُطُوْبَةِ خَاتَمٌ

يُوضَعُ فِي ثَانِي أَصَابِعِ الْيَدِ الْيُمْنَى

بَعْدَ الْخُنْصُرِ

خَاتَمٌ يُوضَعُ فِي ثَانِي أَصَابِعِ الْيَدِ الْيُمْنَى بَعْدَ الْخُنْصُرِ وَهُو الْبُنْصُرُ

ثُمَّ يُنْقَلُ عِنْدَ الْعَقْدِ

إِلَى مَا يُقَابِلُهُ

فِي الْيَدِ الْيُسْرَى

تُسَمَّى دِبْلَةُ الْخُطُوْبَةِ

ثُمَّ دِبْلَةُ النِّكَاحِ

دِبْلَةُ الْخُطُوْبَةِ تَكُونُ فِي الْيَدِ الْيُمْنَى

ثُمَّ عِنْدَ الْعَقْدِ تُنْقَلُ إِلَى الْيَدِ

الْيُسْرَى

وَهَذَا الْخَاتَمُ

إِنْ كَانَ مِنْ ذَهَبٍ

فَهُوَ حَرَامٌ عَلَى الرَّجُلِ مُطْلَقًا

إِنْ كَانَ مِنْ ذَهَبٍ سَوَاءٌ كَانَ الذَّهَبُ أَصْفَرَ أَوْ أَبْيَضَ

فَهُوَ حَرَامٌ مُطْلَقًا

لِأَنَّ الذَّهَبَ حَرَامٌ عَلَى الرِّجَالِ

أَمَّا إِنْ كَانَ الْخَاتَمُ مِنْ فِضَّةٍ

بِالنِّسْبَةِ لِلرَّجُلِ

أَوْ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ بِالنِّسْبَةِ لِلْمَرْأَةِ فَمَا حُكْمُهُ؟

هَلْ يَجُوزُ

وَضْعُ دِبْلَةِ الْخُطُوْبَةِ

وَدِبْلَةِ النِّكَاحِ

فِي الْيَدِ

وَالْجَوَابُ

أَنَّهُ قَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ الْمُفْتِينَ

وَقَالُوا إِنَّهُ جَائِزٌ

لِأَنَّهُ مِمَّا جَرَى بِهِ الْعَمَلُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ

فَصَارَ عُرْفًا لَهُمْ

بَعْضُ الْمُفْتِينَ قَالُوا يَجُوزُ يَجُوزُ

دِبْلَةُ الْخُطُوْبَةِ وَدِبْلَةُ النِّكَاحِ جَائِزَةٌ

مَا عِلَّةُ الْجَوَازِ

قَالُوْا لِأَنَّهُ جَرَى بِهِ الْعَمَلُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ

فَصَارَ عُرْفًا

لِلْمُسْلِمِينَ

وَقَالَ شَيْخُنَا ابْنُ عُثَيْمِينَ

رَحِمَهُ اللهُ

الَّذِي أَرَاهُ

أَنَّ وَضْعَ الدِّبْلَةِ

أَقَلُّ أَحْوَالِهِ الْكَرَاهَةُ

الَّذِي أَرَاهُ أَنَّ وَضْعَ الدِّبْلَةِ يَعْنِي لِلرَّجُلِ إِذَا كَانَ مِنْ فِضَّةٍ

وَلِلْمَرْأَةِ إِذَا كَانَ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ أَقَلُّ أَحْوَالِهِ

الْكَرَاهَةُ

وَحَرَّمَهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ

وَهُوَ الْأَظْهَرُ وَاللهُ أَعْلَمُ

أَنَّهُ حَرَامٌ

لِأَنَّ هَذِهِ

إِمَّا أَنَّهَا عَادَةٌ نَصْرَانِيَّةٌ

فِيهَا اعْتِقَادٌ

وَعَادَةُ الْمُشْرِكِيْنَ

الَّتِي فِيهَا اعْتِقَادٌ

لَا تُصْبِحُ جَائِزَةً إِذَا انْتَشَرَتْ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ

عَادَةُ الْمُشْرِكِيْنَ

عَادَةُ غَيْرِ الْمُسْلِمِينَ

إِذَا كَانَ يَتَعَلَّقُ بِهَا اعْتِقَادٌ

لَا تُصْبِحُ جَائِزَةً إِذَا انْتَشَرَتْ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ

وَهَذِه الْعَادَةُ عَادَةٌ عِنْدَ النَّصَارَى

وَيَتَعَلَّقُ بِهَا اعْتِقَادٌ

وَذَلِكَ

أَنَّهُمْ يَقُولُوْنَ عِنْدَ ذَلِكَ

نَعُوذُ بِاللهِ مِمَّا يَقُولُ الظَّالِمُونَ

بِاسْمِ الْأَبِ

وَالِابْنِ

وَالرُّوحُ الْقُدُسُ

ثُمَّ يُوضَعُ الْخَاتَمُ

فِي الْأُصْبِعِ الرَّابِعِ

وَيَعْتَقِدُوْنَ

أَنَّهُ يُحْفَظُ بِهِ الزَّوَاجُ

وَأَنَّه يَدُلُّ عَلَى دَيْمُومَةِ الزَّوَاجِ

وَلِذَلِكَ عِنْد نَقْلِهِ

مِنَ الْيَدِ الْيُمْنَى إِلَى الْيَدِ الْيُسْرَى

يَحْرِصُونَ عَلَى عَدَمِ

نَزْعِهِ

وَإِنَّمَا يُنْقَلُ مِنْ غَيْرِ نَزْعٍ

فَتُوضَعُ الْيَدَانِ هَكَذَا

ثُمَّ يُنْقَلُ الْخَاتَمُ مِنَ الْيَدِ الْيُمْنَى

إِلَى الْيَدِ الْيُسْرَى بِغَيْرِ انْفِصَالٍ

ثُمّ يَزِيْدُوْنَهُ تَثْبِيْتًا بِمَا يُسَمُّونَهُ الْمَحْبَسَ

الَّذِي يَحْبِسُ خَاتَمَ الدِّبْلَةِ فَلَا يَسْقُطُ

لِأَنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّ هَذَا يَرْمُزُ إِلَى دَيْمُومَةِ النِّكَاحِ

وَيُسَبِّبُ دَيْمُومَةَ النِّكَاحِ

فَهَذِهِ عَادَةٌ نَصْرَانِيَّةٌ

مَبْنِيَّةٌ عَلَى اعْتِقَادٍ

وَقَدْ ذَكَرْتُ

مَا قَرَّرَهُ الْعُلَمَاءُ

مِنْ أَنَّ الْعَادَةَ عَادَةَ غَيْرِ الْمُسْلِمِينَ

إِذَا كَانَتْ مَبْنِيَّةً عَلَى اعْتِقَادٍ

فَإِنَّ انْتِشَارَهَا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ

لَا يَجْعَلُهَا مُبَاحَةً

وَإِمَّا أَنَّهَا عَادَةٌ عِنْدَ الْإِغْرِيْقِ

عَادَةٌ قَدِيمَةٌ

قِيْلَ عِنْد الْإِغْرِيْقِ وَقِيلَ عِنْدَ الْفَرَاعِنَةِ

وَهُمْ يَعْتَقِدُوْنَ

أَنَّ وَضْعَ الْخَاتَمِ

سَبَبٌ لِلْمَحَبَّةِ وَالْمَوَدَّةِ

لِأَنَّهُمْ يَعْتَقِدُوْنَ

أَنَّ عِرْقَ الْقَلْبِ

يَمُرُّ بِالْبُنْصُرِ

أَنَّ عِرْقَ الْقَلْبِ يَمُرُّ

بِالْبُنْصُرِ

فِي الْيُسْرَى وَالْيُمْنَى

فَإِذَا وُضِعَ فِي الْبُنْصُرِ أَعْنِي الْخَاتَمَ

فَإِنَّهُ يَحْبِسُ هَذَا الْعِرْقَ

وَيُسَبِّب الْمَوَدَّةَ

وَالْمَحَبَّةَ

بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ

وَفِعْلُ الدِّبْلَةِ بِهَذَا الِاعْتِقَادِ

شِرْكٌ أَصْغَرُ

لِأَنَّهُمْ يَجْعَلُوْنَ مَا لَيْسَ سَبَبًا سَبَبًا

وَجَعْلُ مَا لَيْسَ سَبَبًا سَبَبًا

شِركٌ أَصْغَرُ

أَمَّا إِذَا اعْتَقَدَ

أَنَّ هَذَا الْخَاتَمَ

هُوَ الَّذِي يُوجِدُ الْمَحَبَّةَ

بَيْنَ الْخَطِيْبَيْنِ وَالزَّوْجَيْنِ فَهَذَا شِرْكٌ أَكْبَرُ

وَالْعِيَاذُ بِاللهِ

فَعَلَى كُلِّ حَالٍ هِيَ عَادَةٌ لِغَيْرِ الْمُسْلِمِيْنَ

مَبْنِيَّةٌ عَلَى اعْتِقَادٍ

سَوَاءٌ قُلْنَا إِنَّ أَوَّلَ مَنْ فَعَلَهَا النَّصَارَى

أَوْ قُلْنَا إِنَّ أَوَّلَ مَنْ فَعَلَهَا الْفَرَاعِنَةُ

أَوْ قُلْنَا إِنَّ أَوَّلَ مَنْ فَعَلَهَا الْإِغْرِيْقُ

وَ

هَذِهِ الْعَادَةُ

لَا يَجْعَلُهَا مُبَاحَةً جَرَيَانُ عَمَلِ الْمُسْلِمِينَ بِهَا

بَلْ تَبْقَى عَلَى أَصْلِ حُكْمِهَا وَهُوَ التَّحْرِيمُ

كَمَا يُلَاحَظُ فِي الْمَسْأَلَةِ

أَنَّ وَضْعَ الْخَطِيْبِ

الدِّبْلَةَ فِي يَدِ

زَوْجَتِهِ مَعَ كَوْنِهِ حَرَامًا

فَإِنَّه تَكُونُ فِيهِ أُمُورٌ مُحَرَّمَةٌ أَيْضًا

فَيَلْمَسُ يَدَهَا

وَهُوَ أَجْنَبِيٌّ عَنْهَا كَمَا تَقَدَّمَ مَعَنَا

لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَمَسَّ يَدَهَا

وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الْمُحَرَّمَةِ

هَذَا الَّذِي يَظْهَرُ لِي فِي الْمَسْأَلَةِ

وَقَدْ عَرَضْتُ لَكُمُ الْمَسْأَلَةَ

كَمَا هُوَ وَاقِعُهَا الْعِلْمِيُّ

 


Artikel asli: https://nasehat.net/hukum-cincin-tunangan-menurut-islam-syaikh-sulaiman-ar-ruhaily-nasehatulama/